Pagi hari yang
dingin membuatku malam bangun dari tempat tidurku. “Icha…ayo bangun…nanti
keburu imsak nih..!!!”teriak ibuku dari luar kamar. “Ah…Ibu…”ucapku sambil
bergerak turun dari tempat tidurku yang hangat. Kuusap mataku agar bisa terbuka
sempurna. Jam di dinding menunjukkan pukul 03.30., waktunya sahur. Di meja
makan, aku duduk di depan Ilham,adikku yang masih berusia 10 tahun, yang lebih
bersemangat menyambut acara sahur pagi ini. Aku memandangnya dan dia balik
memandangku. “Kenapa???”kataku ketus. “Wajah kakak lucu kalau
marah…hahahaha…”ledeknya. “Dasar…”gerutuku kesal. Perbedaan usia kami yang
terpaut 8 tahun, membuat kami tidak terlalu akrab, sehingga kami sering
bertengkar hal-hal yang sepele yang sering membuat ibuku sakit kepala. Kami
memang hidup hanya bertiga, ayahku telah meninggal sewaktu 5 tahun lalu akibat
penyakit jantungnya. Ibukulah yang menjadi tulang punggung keluargaku, dan
nanti kalau aku lulus SMA, akupun harus membantu perekonomian keluarga dengan
bekerja dan tidak perlu kuliah.
“Hari ini kita akan masak apa bu??”tanyaku penasaran. “Kamu ingin
makan apa??’tanya ibu. “Aku ingin makan ketupat sayur dan ayam goreng…”kataku
sambil tersenyum. “Oke..kita akan buat itu…”kata ibu. Aku memeluk ibu dengan
erat. “Ilham kemana???”tanya ibu tiba-tiba. “Tidak tahu…mungkin dia main ke
rumah temannya…”kataku sambil menonton televise. “Panggil adikmu…suruh dia mandi pagi dulu…sudah
jam sembilan masih belum mandi…”omel ibuku, seperti biasa. “Biarkan saja..ntar
juga pulang sendiri...”kataku sambil mengganti chanel televisi. “Icha....”kata
ibu sambil memandang ke arahku. Aku menghela nafas, ucapan dan pandangannya
mengisyaratkan kalau aku harus pergi menjalankan perintahnya.
“Okey...okey...”kataku sambil beranjak pergi.
Setelah
keliling kampung mencari keberadaan adikku, akhirnya aku memutuskan untuk
istirahat lebih dulu. “Ke mana dia??Dasar bisanya merepotkan saja...”omelku
kesal. Sambil duduk di bawah pohon mangga yang sangat teduh, aku melihat
aktifitas di berbagai rumah yang ada di depanku. Aku melihat seorang anak
sebayaku sedang sibuk mengecat rumah bersama ayahnya sambil tertawa gembira di
rumah berwarna hijau muda. Di rumah berwarna putih bersih, aku melihat sepasang
suami istri sedang sibuk bermain dengan anak-anak mereka di halaman. Sedangkan
di rumah warna biru, aku melihat ada kerabat yang pulang kampung dari luar kota
dan disambut dengan gembira oleh seisi rumah. Aku membayangkan, betapa
senangnya jika hal itu bisa terjadi di keluargaku. “Senang ya, jika lebaran ada
yang berbeda dari hari biasanya...ada sesuatu yang ditunggu dan dirindukan di
hari biasa..”kataku pelan. Aku teringat ayahku dan kuputuskan untuk mengunjungi
makamnya, padahal nanti sore aku dan ibuku serta adiku juga akan mengunjunginya
untuk mendoakan ayahku.
“Ternyata
dia ada disini...”ucapku lirih. Kulihat adikku sedang duduk di pinggir makam
ayah. Sayup-sayup terdengar suaranya yang tampak sedih. “Ayah...seandainya ayah
masih ada..tentu aku punya teman bermain dan bercanda...aku iri dengan teman-temanku
yang lain yang selalu membicarakan ayahnya...sementara aku...aku tidak tahu
bagaimana ayah, seperti apa ayahku, dan kegiatan favorit ayah apa...aku bahkan
tidak tahu wajahmu...sungguh sangat menyebalkan..”katanya sambil memandang
makam ayah. “Ilham...”kataku sambil menahan sedih. “Sebenarnya aku ingin bisa
bermain dengan kakak, tapi aku tidak tahu permainan apa yang kakak suka, karena
aku tidak pernah melihat kakak bermain...yang sering kulihat, kakak selalu
sibuk belajar, bermain musik, latihan dance...aku ingin sekali bisa dekat
dengannya....”kata Ilham seperti mengadu dengan orang yang masih hidup, padahal
yang dia ajak bicara hanyalah sebuah makam. “Dasar!!!padahal dia yang selalu
memusuhiku...”gerutuku. “Oh ya...ada paman baik yang dekat dengan ibu...dia
teman kerja ibu...dia sangat ramah dan juga pandai bermain sepak bola...aku
ingin dia bisa jadi ayahku..tapi sepertinya kakak tidak suka padanya...kakak
sudah sering bertengkar dengan ibu hanya masalah paman itu...dan gara-gara itu,
paman tidak pernah lagi datang ke rumah...padahal aku pengin sekali punya ayah
lagi...tapi ayah tidak perlu khawatir...ayah tetap menjadi ayah terbaik yang
pernah aku punya...”Ilham berhenti bicara sejenak dan menghela nafas. Aku hanya
menunduk sedih. “Kenapa??”tanya seseorang dibelakangku. Aku kaget lalu menengok
ke belakang. “Om Rudi...”teriakku kaget. “Ssstttt...pelan-pelan..nanti
terdengar sama Ilham..”katanya sambil menutup mulutnya. Aku mengangguk.
Sore
hari menjelang maghrib, ibu sibuk menyiapkan menu buka puasa. “Hhmmm…baunya
enak sekali…ibu buat makanan favorit Ilham ya…”tanya Ilham sambil memeriksa
dapur. Aku melihatnya sambil tersenyum. “Wah…ibu baik sekali….terima kasih
ya…”teriak Ilham setelah melihat makanan favoritnya sudah tersedia diatas meja
makan. Ibu dan Ilham sama-sama
tersenyum bahagia. “Semoga Om Rudi mau memberikan jawabannya malam ini...”batinku
sambil tersenyum menghampiri ibu dan Ilham.
*Flashback di
pemakaman siang tadi*
“Kenapa om ada disini??”tanyaku pada Om Rudi. “Om
ingin memastikan kalian berdua baik-baik saja…”katanya sambil mengacak rambut
pendekku. “Om …jangan rusak rambutku
dong…kemarin baru masuk salon nih…”gerutuku kesal. Om Rudi hanya tertawa, “Kamu
tidak berubah sama sekali dari 2 tahun lalu…terakhir kali kita
bertemu…”katanya. “Om kemana saja???”tanyaku
penasaran. “Kenapa??Kamu kangen ya??”candanya. “Ah…tidak kok….memang tidak
boleh bertanya ya??”elakku sambil pura-pura melihat Ilham. “Om
harus menemukan akal supaya bisa masuk ke keluargamu….”kata Om Rudi sambil
tertawa. Aku hanya cemberut. “Tidak…tidak…Om bercanda…Om
ditugaskan untuk belajar di luar negeri...tapi sekarang sudah selesai kok…dan
om bisa pulang ke sini…” kata Om Rudi jelas. “Om Rudi masih menyukai
ibu??”tanyaku tiba-tiba. Om Rudi kaget lalu tertawa. “Tentu saja…disana begitu tersiksa tidak bisa
meluhat ibumu dan kamu juga Ilham…waktu tersa sangat lama…”katanya sambil
memandangku. “Apa Om Rudi sayang juga pada Ilham???”tanyaku pelan. “Tentu
saja...sangat sayang pada Ilham dan juga kamu...”katanya sambil mengusap rambutku.
“Apakah Om Rudi masih mau menjadi ayah tiri bagiku dan juga Ilham, meski dalam
hati kami masih ada ayah kandung kami??”tanyaku. Om Rudi diam dan memandangku
dan Ilham bergantian. Kulihat Ilham sudah beranjak meninggalkan makam ayah. Aku
bersiap mengejar Ilham. “Jawabannya kutunggu nanti malam ya Om...di
rumah...”kataku sambil pergi meninggalkan Om Rudi. “Jangan lupa bawa kembang
api...Ilham sangat suka dengan kembang api...”teriakku dari jauh.
*Flashback selesai*
Suara
gema takbir bergumandang di seluruh pelosok kampung. Aku hanya duduk di
depan televisi sambil terus memperhatikan jam dinding. Ilham ikut tekbir
keliling di masjid. Ibu menata jajan dan kue kering dalam toples kecil. Tiba-tiba suara yang sering kudengar
menggema di depan rumah. “Rudi…”kata ibuku pelan. Aku melihat ke ruang tamu dan
kulihat Om Rudi datang dengan membawa banyak bungkusan. Om Rudi tersenyum lalu
menemui ibuku dan berbicara sebentar di ruang tamu. “Paman!!!”teriak Ilham yang
pulang dari masjid. Om Rudi langsung memeluk dan menggendong Ilham. “Wah kamu
sudah besar sekarang ya...sudah bisa jadi jagoan ibu dan kakakmu dong..”kata Om
Rudi sambil tertawa. Aku melihatnya dari belakang ibu yang sedang tersenyum
bahagia. “Tapi labih galakan kakak daripada aku...”kata Ilham sambil melirikku.
Aku memelototinya. “Tuh kan??”katanya sambil memeluk Om Rudi. “malam ini aku
ingin sekali melamarmu untuk menjadi ayah dari Icha dan Ilham...”kata Om Rudi
sambil memberikan cincin putih kepada ibu. Ibu melihat ke arahku. Aku
mengangguk pelan. Ibu tersenyum dan mencium keningku. “Terima kasih
sayang...”kata ibuku sambil menangis terharu.
Di
halaman rumah, aku, Ilham, ibu dan Om Rudi asyik bermain kembang api. Ilham
terlihat sangat gembira. “Kenapa akhirnya kamu menyetujui hal ini?”tanya ibu
penasaran. Aku hanya tersenyum. “Icha pikir...sudah saatnya ibu punya orang
yang bisa diajak berbagi cerita dengan ibu...dan itu akan mengurangi beban
ibu..ya kan??”kataku sambil memandang ibu. “Lagipula...sekarang Icha sudah ada
tempat yang bisa diajak cerita kok...hehehe..”kataku sambil tertawa kecil.
“Wah..kakak sudah punya pacar...”ledek Ilham. “Benarkah itu??”kata ibu senang.
Aku mengangguk. “Tidak boleh...calon pacarmu harus menerima tantangan dulu
dariku...sebelum dia resmi jadi pacarmu...”teriak Om Rudi. “Kenapa??”tanyaku
kesal. “Karena aku adalah ayahmu...ingat itu...”katanya sambil berwajah serius.
Aku hanya mencibirnya lalu memeluk ibuku. “Aku hanya bisa berharap...Om Rudi eh
salah ayah Rudi bisa menjadi ayah yang baik bagiku dan juga Ilham....sehingga dia
menjadi anugerah di malam lebaran tahun ini..”batinku sambil terus memelukku.
“Wah...kembang apinya indah sekali...”pekik ibu melihat kembang api yang
dipegang Ilham dan Om Rudi. “Bagus sekali bukan??”teriak Ilham. Kami semua
bahagia dan terus tertawa di malam yang diiringi gema takbir yang mengalun
merdu.
^^^^^S.E.L.E.S.A.I^^^^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar