Musim dingin ini
terlalu dingin bagiku, hingga aku malas bangun pagi untuk berangkat ke sekolah.
“Nina….ayo bangun dan siap-siap ke sekolah…”teriak mama dari luar kamar. Aku
pun terpaksa bangun dan bergegas menuju kamar mandi, meski badan terasa dingin
membeku. Pengasuhku, Darsih, asal Jawa ikut membantu memandikanku. “Dingin ya
non???”tanyanya. Aku hanya mengangguk. Pukul 07.30, aku masih duduk di depan
cermin dan melihat Darsih mendandaniku. Kulihat diriku di cermin. Namaku Nina,
usiaku sekarang 12 tahun dan masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 6. Aku
adalah anak tunggal dari pasangan suami istri yang sibuk bekerja, setelah kakak
laki-lakiku meninggal karena kecelakaan mobil. Karena perasaan trauma yang
melanda orang tuaku, akhirnya kamipun pindah dari negara Indonesia ke negara Korea Selatan, dan kini kami
tinggal di kota Seoul , jantungnya Korea Selatan.
Sarapan pagi seperti biasanya. Aku melihat Yanti, pembantu kami,
menyiapkan sarapan di atas meja. Papa yang sibuk membaca koran di meja makan
dan mama yag sibuk berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya. “Silakan
di makan tuan,nyonya dan non Nina...”kata Yanti, sambil menundukkan badannya.
“Terima kasih Bik..”balasku sambil tersenyum ke arah Yanti. Yanti pun tersenyum
ke arahku. “Ayo kita makan…”kata papa sambil menutup korannya dan makan roti
panggang yang ada didepannya. Mamapun mengakhiri pembicaraannya dan ikut makan
dengan masih sibuk melihat catatannya. Aku hanya bisa diam dan menatap orang
tuaku yang makan dengan kesibukan masing-masing.
Sepanjang perjalanan ke sekolah,
jalanan dipenuhi salju yang lumayan tebal. “Non Nina masih kedinginan??”tanya
Ajay, sopir pribadiku. “Tidak…sudah cukup hangat kok..”kataku sambil merapatkan
jaketku. Sampai di taman dekat komplek perumahanku, aku melihat sesosok anak
laki-laki berjalan kaki sendirian. Akupun turun dan menghampirinya. “Hey..kamu
mau kemana??”tanyaku sambil melihat anak laki-laki yang sebaya denganku itu.
Anak itu hanya diam dan melihat mobilku. Aku melihat seragam sekolahnya yang
ternyata sama denganku. “Ikut aku saja…kita satu sekolah bukan??”ajakku sambil
menarik tangannya. “Aduh…dinginnya!!!”pekikku kaget ketika menyentuh tangannya
yang begitu dingin. Anak laki-laki itu menatapku. Aku juga menatapnya, berharap dia cepat memberi
jawaban, karena aku mulai merasa kedinginan. Akan tetapi, tiba-tiba dia lari
menjauh dariku. “Hey!!!Hey!!!”kagetku sambil berteriak memanggilnya. Aku hanya
bisa berdiri dan melihat punggungnya sampai menghilang di tengah kerumunan
pejalan kaki.
Palajaran
kali ini adalah pelajaran yang paling tidak bisa kupahami, pelajaran sastra
Korea. Pelajaran yang menyebalkan
dengan guru yang membosankan. “Hey Nina...ayo kita keluar!!”bisik Ji Min
padaku. Ji Min adalah sahabatku di sekolah. Dia satu-satunya orang yang bisa mengerti aku dan bisa membuatku senang.
“Okey!!”kataku. kamipun akhirnya bisa meninggalkan kelas dengan alasan
sakit dan butuh obat. “Lama-lama
aku bisa gila disana…”kata Ji Min sambil tertawa. “Aku apalagi...tidak mudah
dipahami...betul-betul sulit...”kataku sambil merangkul pundak Ji Min. Kamipun
pergi ke taman belakang sekolah untuk bercerita dan bercanda seperti biasa yang
kami lakukan.
Malam
minggu, Ji Min menginap di rumahku, dan kebetulan orang tuaku ada urusan di
luar negeri selama 1 bulan, sehingga Ji Min kuminta untuk menemaniku malam ini.
“Senang ya jika jadi kamu...punya orang tua lengkap, rumah mewah, mobil
pribadi, pokoknya hidupmu benar-benar sempurna...”kata ji Min sambil tersenyum.
“Kamu mau hidup seperti ini?”tanyaku. Ji Min mengangguk pasti. “Aku malah iri
denganmu...”kataku sambil menatap ke depan. Ji Min menunjukkan wajah bingung.
“Kenapa??kan ayahku sudah tiada dan ibuku harus bekerja keras sebagai pedagang
makanan untuk menghidupi aku dan adik-adikku. Pasti terasa sangat berat jika
hidup sepertiku. “kata Ji Min sambil menatapku. “Iya..tapi keluargamu sangat
menyenangkan...ibumu ramah, adik-adikmu lucu...pokoknya keluargamu penuh dengan
kehangatan. “kataku pelan. Ji Min hanya bisa diam memandangiku.
Minggu
pagi, aku mengantar Ji Min pulang ke rumahnya dan ikut sarapan dengan keluarga
Ji Min di kedainya. “Enak sekali masakannya tante...”pujiku sambil terus
makan dengan lahapnya. “Makanlah dengan perlahan, jangan sampai tersedak…”kata
ibu Ji Min pelan. Ji Min dan adik-adiknya tertawa melihat tingkah makanku yang
seperti orang puasa 1 bulan penuh. “Ji Min, aku pulang dulu…sampai ketemu besok ya…”pamitku pada Ji Min. “Hati-hati
di jalan Nina...”teriak Ji Min di belakangku. Aku mengangguk dan melambaikan tanganku
lagi ke arahnya. Ketika melewati taman komplek, aku teringat anak laki-laki
yang pernah kulihat. Dan ketika aku masih memikirkannya, tiba-tiba mataku
menangkap sosok anak itu sedang duduk di pinggir kolam sambil bermain boneka
salju hasil buatannya. Aku berlari ke arahnya dan menyapanya. “Hai…”sapaku
ramah. Anak itu melihatku
sepintas dan mulai membuat boneka salju lagi. Aku melihatnya membuat
boneka salju. Dengan cepat boneka saljupun jadi. “Ini boneka saljumu…”katanya
sambil tersenyum. Aku senang,
akhirnya anak laki-laki itu mau berbicara padaku. “Terima kasih...”kataku
sambil mulai mendekati boneka salju buatannya. “Hai..namaku Nina..kamu
siapa??”aku pun berpura-pura menjadi pengisi suara boneka salju. Anak laki-laki
itu tertawa melihat tingkahku. “Aku Dae Woo...”katanya sambil tersenyum.
Akhirnya kamipun akrab dan kami menghabiskan hari Minggu dengannya.
“Siapa
Dae Woo Non??”tanya Darsih penasaran. “Teman baruku Bik, sekarang aku sudah
punya 2 teman di Seoul..”ucapku bangga. “Alhamdulillah...yang penting
Non senang..”kata Bik Darsih sambil memelukku. “Iya…”kataku sambil tersenyum.
“Bibik sempat khawatir dengan keadaan Non, sejak kematian Den Bagas 3 tahun
lalu, Non Nina tidak pernah ceria lagi…suka menyendiri…suka murung…suka
melamun….Bibik khawatir Non…”kata Bik Darsih sambil menangis. Aku memeluk
pengasuhku sejak bayi itu erat. Dia sudah seperti ibu kandungku sendiri.
Satu bulan sudah aku sering bermain
dengan Dae Woo. Perasaanku yang dulu pernah hilang, kini mulai berseri di dalam
hatiku. Aku dan Dae Woo berbaring di atas salju yang mulai tipis, karena musim
akan segera berganti. “Musim semi akan segera tiba, nanti maukah kamu
menemaniku melihat mekarnya bunga-bunga di taman??”tanyaku. Dae Woo hanya
tertawa. “Aku manganggap tawamu itu berarti setuju…”kataku keras. Dae Woo
menatapku sambil tersenyum. “Kamu sudah merasa hangat??”tanyanya. Aku
mengangguk karena memang sudah memasuki musim semi. “Aku juga…sudah tidak
merasa kedinginan lagi…”kata Dae Woo sambil tersenyum. Ada kelegaan dalam wajahnya yang tidak bisa
kumengerti artinya. “Nina…maukah kamu jadi temanku selamanya???”tanya Dae Woo
serius. “Tentu saja…kamu akan menjadi teman terbaikku sepanjang masa..”kataku
sengan tersenyum lebar. “Dan
selalu berada dalam hatimu???”tanya Dae Woo cepat. Aku mangangguk pasti. Dae
Woo menatapku dengan sangat senang dan matanya mulai berkaca-kaca. “Terima
kasih…Nina…”kata Dae Woo pelan tapi pasti. Kabut tipis mulai menghalangi
pandanganku, aku tidak bisa melihat Dae Woo lagi. “Dae Woo!!!Dae
Woo!!”teriakku. Tapi tiba-tiba, aku melihat sebuah bus melaju ke arahku dengan
kencang. Aku hanya bisa menutup mata dan berteriak sekeras-kerasnya. Dan akupun
tidak ingat lagi kejadian sesudah itu.
Aku berusaha membuka mataku, kulihat
mama, papa, bik Darsih sedang menangis. ‘Ada apa ini??Di mana aku??’batinku. Papa menghampiriku dan berteriak
memanggil dokter. Mama memelukku erat dan bik Darsih menangis sambil mengucap
syukur berkali-kali. Mama terus menatapku dan mengusap wajahku. Papa masih
berbicara dengan dokter di sudut ruangan. “Apa yang terjadi?”tanyaku bingung.
“Sudahlah sayang...yang penting sekarang kamu selamat...”kata mama sambil
memelukku erat. Aku mulai merasakan kehangatan mama lagi. “Mama...”ucapku
sambil menangis.
Musim
semi sudah hampir berlalu. Aku telah menghabiskan hampir seluruh musim semi ini
di rumah sakit untuk pemulihan pasca operasi karena kecelakan. “Nina...lihat
bunga itu sangat indah bukan??”tanya Ji Min sambil mendorong kursi rodaku
memutari taman komplek. “Iya...indah sekali...”kataku sambil tersenyum pada Ji
Min, sahabatku. Hari itu, aku menghabiskan hari bersama Ji Min dan tentunya
orang tuaku yang terus mengawasi kami di kursi taman, dan tentu saja Bik Darsih
ikut serta dalam piknik keluarga ini. “Lihat matahari mau terbenam...”teriak Ji
Min. Aku melihat matahari itu dan terus berpikir tentang Dae Woo. Anak dingin
itu telah menjadi hangat dan menjadi kehangatan dalam hatiku, semoga bisa
selamanya. Kamipun berfoto dengan latar matahari terbenam.
*Flashback*
Dae
Woo kaget dengan kemunculan Nina yang menawarinya tumpangan. ‘Dia bisa
melihatku??’pikirnya. Dilihatnya Nina yang terus menawarinya tumpangan. Cae Woo
lalu melihat tanda kematian yang akan menimpa Nina, tapi dia lalu melihat
pengawas rohnya datang sehingga Dae Woo memilih kabur untuk menghindari
pengawas roh itu. “Jika dia melihatku bersama anak itu, maka
anak itu dalam bahaya.”kata Dae Woo sambil terus mengamati kepergian Nina
dengan mobil mewah. Tanda kematian itu, membuat Dae Woo terus memikirkannya dan
akhirnya selalu membuntuti Nina. “Ternyata dia sepertiku...begitu kesepian di
dunia ini dan merindukan kehangatan..”kata Dae Woo pelan sambil menatap Nina
yang sedang berbicara dengan Ji Min di
malam minggu. Dae Woo mengikuti Nina yang baru pulang dari rumah Ji Min, dan
kejadian itu terjadi juga. Sebuah bus yang melaju kencang menuju ke arah
Nina yang sedang berjalan pelan. Dae Woo yang tidak bisa berbuat apa-apa hanya
bisa melihat Nina tertabrak bus itu dan tergeletak di jalan dengan tubuh penuh
darah. Dae Woo pun teringat kejadian yang dialaminya beberapa tahun lalu yang
sama persis dengan Nina. “Anak itu akan kembali hidup jika dia menemukan
kehangatan dalam hatinya”kata pengawas roh tiba-tiba. Dae Woo melihat Nina dan
merasa dia harus menolongnya. “Aku tidak ingin kamu nanti menjadi seperti aku,
menjadi anak dingin yang tidak pernah merasa kehangatan”kata Dae Woo sambil
terus menemani Nina bermain salju.
*Flashback End*
^^^^^S.E.L.E.S.A.I^^^^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar